PERILAKU
ANTAR KELOMPOK DAN MANAJEMEN KONFLIK
Ada beberapa hal yang
melatar belakangi kenapa timbul konflik di kampus. Pertama, persaingan
kepentingan elit. Hal ini terjadi karena ada persinggungan kepentingan di
tingkatan elit politik atau pemegang kekuasaan. Apalagi jika, anggaplah seorang
rektor universitas menjadi calon dalam sebuah jabatan publik yang lebih luas.
Kerap muncul gerakan dari lawan politiknya untuk membuat konflik di kampus.
Asumsinya sederhananya, bagaimana bisa seorang rektor misalkan, mengelola
publik yang lebih luas sedangkan ‘rumahnya’ sendiri tidak bisa dikendalikan.
Fenomena
ini jika kita lihat dalam konteks politik memang wajar terjadi. Karena ketika
seorang tokoh merambah pada politik praktis maka selalu akan berhadapan dengan
aneka ragam kepentingan. Bisa saja lawan politiknya akan terganggu interest-nya atau kebobrokannya akan terungkap ketika
ada reformis baru yang akan memerintah. Olehnya itu, dengan mengikut pada teori
Machiavelli, maka dihalalkanlah segala cara untuk menghantam lawan politiknya.
Jika
kita lihat kasus kepentingan elit ini, kurang masuk akal bilamana konflik itu
dilakukan oleh orang dalam kampus. Artinya tidak mungkin orang kampus sendiri yang
notabene ia dibesarkan di situ menghancurkan almamaternya. Adapun konflik yang
terjadi karena persaingan di tingkatan internal kampus biasanya tidak akan
mengakibatkan kerusuhan dalam skala massif. Paling hanya terjadi ‘ketegangan’
biasa yang cepat diredam. Ujung-ujungnya memang ketika konflik elit ini
terjadi, maka civitas akademikalah, yang dalam hal ini merasakan dampak
langsung adalah mahasiswa yang terlibat di lapangan.Memang aneh ketika ada
orang tertentu (oknum) yang ingin menghancurkan kultur kampus yang ilmiah.
Tentunya kelakuan itu sudah diluar daya nalarnya. Kalaupun ada tipe orang yang
melakukan ini, maka teramat kejamlah orang tersebut. Semoga tidak ada!
Kedua,
konflik antar mahasiswa. Konflik bisa saja terjadi dalam dua hal, dalam
tingkatan kognitif dan dalam skala massif. Konflik dalam bentuk kognitif
biasanya hanya berada pada wilayah pemikiran. Sebagai contoh perebutan tahta
lembaga mahasiswa. Jika konflik ini masih save, maka tingkatan
konfliknya hanya berada pada ‘ketegangan urat syaraf’ antara golongan
mahasiswa. Dalam kultur lembaga hal ini wajar terjadi. Karena masing-masing
pihak ingin menjadi penguasa di lembaga tertentu. Tapi sekali lagi, jika
masing-masing pihak masih mengedepankan rasionalitas, maka tak akan terjadi
konflik terbuka dalam bentuk tawuran massal.
Konflik
dalam skala massif atau tawuran biasanya terjadi karena masalah sepele.
Biasanya, karena masalah ketersinggungan antar mahasiswa. Bisa disebabkan
karena ‘dipajaki’ oleh oknum mahasiswa tertentu. Dan ketika sang korban
melaporkan kejadian itu pada kawannya atau seniornya, maka secara otomatis
‘nafsu purbanya’ untuk konflik sudah mulai tersulut. Apalagi jika dalam
‘ingatan kolektif’ mahasiswa tertentu, pernah terjadi konflik sebelumnya. Maka
akan terjadilah konflik dari satu orang menjalar pada solidaritas kelompok.
Terbakarlah amarah dalam dada!
Jika
dilihat secara lebih jelas, ternyata konflik yang terjadi bukanlah karena
mahasiswa yang suka konflik. Karena tujuan mahasiswa ke kampus sejatinya adalah
untuk menimba ilmu, memperluas cakrawala pemikiran, dan untuk berbakti pada
kedua orang tuanya. Konflik yang terjadi secara massif itu sebenarnya hanyalah
ungkapan ‘solidaritas sosial’ antar mahasiswa. Karena toh biasa setelah konflik
di kampus, mereka akan bertemu kembali di pondokannya masing-masing. Konflik
itu hanyalah berada pada wilayah terbatas saja. Kalaupun ada yang melanjutkan
konflik tersebut sampai di pondokannya, itu hanya mahasiswa tertentu.
Asumsi
yang harusnya kita pakai sekarang dalam melihat konflik ini adalah semua
manusia itu sejatinya adalah baik. Karena lingkungan atau situasi yang
mencekam, maka otomatis sebagai senasib sepenanggungan, maka mahasiswa akan
membantu temannya. Jika memang konflik ini hanya ungkapan solidaritas, kenapa
setiap tahun kerap kali muncul tawuran? Hal ini tidak hanya terjadi di daerah,
akan tetapi juga melanda kota metropolitan seperti Jakarta.
Mungkin
tawuran yang selalu menjelma itu adalah semacam ‘dosa turunan’ , ‘dosa purba’
atau bahasa lainnya ‘dosa kultural’ yang telah mendarahdaging pada pendahulu
mahasiswa. Maksudnya, mungkin saja ini terjadi karena sudah membudaya. Harus
kita bedakan antara menggejala dan membudaya. Jika menggejala sifatnya masih
hal biasa, akan tetapi ketika sudah membudaya maka inilah semacam ‘ritual
tahunan’ yang kerap digemari mahasiswa.
Kebiasaan
ini tidak bisa lihat secara independen. Selalu ada keterkaitan antara satu
unsur dan unsur lainnya. Artinya, tawuran yang terjadi sesungguhnya adalah
cerminan dari gejolak bangsa kita yang masih suka melakukan pemberontakan
secara massif. Hal ini bisa juga terjadi karena tayangan media massa yang
cenderung mengangkat begitu banyak kekerasan, walau sebenarnya itu baik sebagai
pembelajaran sosial. Akan tetapi, inilah akumulasi dari begitu banyak masalah
bangsa yang tidak terselesaikan sampai hari ini.
Bagaimana
cara menyelesaikan konflik? Setidaknya cara untuk menghilangkan ‘kreatifitas’
itu perlu dengan gerakan penyadaran. Penyadaran yang dimaksud disini bisa
dilakukan pada tingkatan lembaga kemahasiswaan. Selayaknya, para aktivis
lembaga memberikan penyadaran antar sesama mahasiswa. Hal ini tepat jika
dilaksanakan dalam wahana pengkaderan seperti Ospek.
Sebagaimana
yang umum ada di tiap lembaga, biasanya tiap fakultas ada bidang pengkaderan
serta kerohanian. Keduanya harus berperan secara sinergis. Bagaimana memadukan intelligence
quotient (kecerdasan inteligensi) mahasiswa dengan spiritual quotient
(kecerdasan spiritual). Agar nantinya terjadi balancing (keseimbangan)
sikap antara ketinggian ilmu dan kedalaman ketaatan pada Tuhan yang
dimanifestasikan dalam relasi sosial.
Penyadaran
ini idealnya tidak hanya pada mahasiswa, akan tetapi para dosen juga perlu
diikutkan. Artinya, perlu ada kesadaran dan sekaligus mutual understanding
(saling pengertian) sebagai warga kampus untuk saling bekerjasama memajukan
ilmu dan moralitas, serta menjaga fasilitas kampus.
Sesungguhnya
masalah kampus adalah masalah kita bersama. Sejarah telah mencatat bagaimana
perjuangan mahasiswa dan pemuda dalam menyatukan segenap komponen bangsa dalam
Sumpah Pemuda (1928), menggusur Orde Lama, hingga mengusung bendera reformasi
dengan melengserkan Soeharto pada 1998. Alangkah banyak tinta sejarah yang
ditorehkan gerakan mahasiswa dari dulu hingga kini. Jangan sampai segala
goresan tinta emas yang telah terpahat dalam dinding sejarah menjadi pudar dan
terkikis secara perlahan.
Olehnya
itu, kita semua perlu berupaya keras menjadi yang terbaik untuk generasi
sesudah kita, agar muncul bibit pemimpin masa depan yang cerdas dari rahim bumi
pertiwi. Tak ada salahnya sekarang kita ikuti Bung Karno semasa mahasiswa di
THS Bandung (kini ITB) yang menulis pada dinding kamarnya sebuah kata: Masa
depan bangsa ditentukan dari kamar ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar